Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Alhamdulillaah…..Segala
Puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian alam.Tuhan Yang Maha Rahman.Maha Rahim..
Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk kekasih Allah,Muhammad
Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah ?
Sudah pasti jawabannya adalah : k-e-h-a-m-i- l-a-n.
Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, Seberat apa pun langkah yang
mesti diayun, Seberapa lama pun waktu yang harus dijalani, Tak kenal menyerah
demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan: p-o-s-i-t-i- f.
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih
dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya,
karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali
ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedihkah atau bahagiakah ia di
dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta
yang pernah diberikannya, ketika itu mati pun akan dipertaruhkannya asalkan
generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna, ketika
mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang
terus bercucuran.
Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar. Tak ada yang lebih
membanggakan untuk diperbincangkan selain anak. Tak satu pun tema yang paling
menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun
keluarga, kecuali anak.
Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon
untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon. Saat baru pertama
berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si
kecil terjatuh dan luka.
Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah
awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan
bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar
langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan. "Demi anak",
"Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar
berbelanja keperluan si kecil.
Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus
beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap
suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju
untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuk dirinya sendiri dan berganti
mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi
anak. Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli susu anak; 2. Uang
sekolah anak. Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di
situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di
rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si
kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap
terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah
dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter
yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi
merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang
meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau
ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat
mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan
jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen
didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan
suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir
terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si
kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam
kantuknya, ia pun terus mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan
anak-anak yang akan berangkat ke sekolah. Tak satu pun yang paling ditunggu
kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat,
"sudah makan belum?" tak lupa terlontar.
saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia
timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa saja
membeli makan siangnya sendiri di Sekolahnya.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya,
siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah
sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya
ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. Ia menangis melihat anaknya
tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati
yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya
miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih,
"Masihkah kau anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang
usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu
pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu meninggal, ibu ingin
anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku
kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu
anaknya. "Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih
& shalihat sejak kecil," ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin
saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti
cinta sebenarnya. Ibulah madrasah cinta saya, Ibulah sekolah yang hanya punya
satu mata pelajaran, yaitu "cinta". Sekolah yang hanya punya satu guru
yaitu "pecinta". Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama:
"anakku tercinta".
Source: ebook -kumpulan cerita motivasi-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar