Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Alhamdulillaah…..Segala
Puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian alam.Tuhan Yang Maha Rahman.Maha Rahim..
Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk kekasih Allah,Muhammad
Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andaikata, uang kita diambil
satu bagian, lalu dikembalikan sebanyak tujuh belas kali lipat, maukah kita?
Andaikata, yang mengambil tidak memberitahu lebih dahulu, kalau nantinya akan
dibayar dengan berlipat ganda, maukah kita?
Marilah kita ikuti pengalaman
nyata seorang bapak muda yang cukup menarik untuk dikaji. Sebutlah Pak A.
Sekitar 14 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1988, seorang muda yang baru
dikarunia seorang anak, is bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya yang tinggal
sebentar lagi selesai. Gaji yang didapatkan dari pekerjaannya itu setiap
bulannya dapat dikatakan sangat tidak cukup untuk biaya hidupnya beserta istri
dan seorang anak kecilnya.
Suatu hari yang “naas” ia
pulang dari kerjanya. Dengan penuh gembira ia membawa pulang gaji pertamanya
yang sebesar Rp. 40.000,- (Empat puluh ribu rupiah). Dengan perasaan bangga dan
penuh dengan rasa gembira ingin ditunjukkannya hasil kerjanya itu kepada istri
tercintanya.
Ingin sekali ia cepat-cepat
sampai di rumah dan dengan uang itu ia ingin belanja bersama istri dan anaknya,
maklum gaji pertama adalah gaji yang mempunyai nilai “historis” tinggi.
Setelah sampai di rumah apa
yang terjadi? Ternyata dompet yang berisi gaji satu bulan tersebut sudah tidak
ada di saku celananya alias kecopetan ketika ia pulang dari tempat kerjanya.
Bisa dibayangkan betapa sedih,
kecewa dan bingungnya ia ketika itu. Andaikata bisa, mungkin ia akan menangis
sejadi-jadinya. Bahkan mungkin ia akan protes kepada tuhan yang telah
“mengijinkan” peristiwa itu terjadi. Karena ia telah bekerja dengan keringatnya
tanpa kenal lelah dengan penghasilan yang halal demi keluarga tercinta.
Waktu satu bulan sungguh
terasa sangat lama untuk menunggu gaji tersebut. Tapi apa mau dikata gaji
pertamanya sudah harus ia relakan untuk tidak ia miliki saat itu. Bagaimana
jika peristiwa itu terjadi pada diri kita? Sanggupkah kita menerimanya dengan
ikhlas?
Apa yang ia lakukan
selanjutnya? Ia duduk terdiam tanpa bisa berkata apa-apa sambil memandang istri
dan anaknya, mengapa hal ini harus terjadi pada dirinya? Dalam kondisi seperti
itu dengan hati terasa pedih ia mencoba tegar dan berpikir praktis. Biarlah
uangnya hilang, toh peristiwa sudah terjadi, mau diapa lagi….?”
Akhirnya diambilnya keputusan
untuk tetap berusaha kalau-kalau dompet tersebut masih mungkin untuk ditemukan,
walaupun secara logika sangat kecil kemungkinannya untuk mendapatkan kembali
uangnya tersebut. Ia berusaha mengambil hikmah dari kejadian itu meskipun
dengan perasaan yang tidak karuan sedihnya.
Keputusan segera diambilnya,
yaitu tetap berusaha untuk mencoba mendapatkan kembali dompetnya karena di
dalamnya ada beberapa surat berharga, diantaranya stnk kendaraan bermotor, ktp,
dan beberapa surat penting lainnya.
Akhirnya untuk mendapatkan
kembali surat-surat yang hilang tersebut ia menulis surat pembaca pada sebuah
surat kabar, yang intinya: biarlah uang itu hilang, asal surat-suratnya dapat
kembali, dan ia berharap jika ada orang yang menemukan dompet itu, ia minta
tolong agar di antarkan ke alamat yang tertera dalam ktp tersebut.
Apa yang dilakukan hari-hari
berikutnya? Setiap hari ia membaca surat kabar, kalau-kalau ada berita tentang
dompetnya yang hilang. Ketemukah dompet tersebut? ternyata tidak!
Lalu dimanakah keindahannya
peristiwa itu? Keindahannya ialah terletak pada keharusannya ia membaca surat
kabar tersebut. Seolah-olah Allah menyuruh dia untuk membaca surat kabar setiap
hari, dengan cara “mengijinkan” seseorang untuk mengambil dompetnya…
Lalu apa yang terjadi hari
berikutnya? Dengan membaca surat kabar setiap hari, tanpa terasa suatu saat ia
menemukan suatu tulisan pada disiplin ilmu yang dikuasainya yang menurut
pendapatnya hal itu kurang tepat, akhirnya ia mencoba menulis untuk mengulas
dan menyanggahnya.
Waktu berjalan dengan cepat.
Ia telah lupa pada dompetnya yang hilang, dan saat itu ia asyik menulis sesuai
dengan kemampuannya yang sesuai pula dengan disiplin ilmunya.
Hal ini berlangsung beberapa
bulan sejak terjadinya peristiwa naas tersebut. Selanjutnya ia sering menulis
dan menanggapi tulisan orang lain sampai berulang-ulang sehingga ia menjadi
seorang penulis. Meskipun masih pemula, pada surat kabar tersebut. Lalu?
Karena kemampuannya menulis
dinilai cukup baik, oleh pimpinan perusahaan ia dipanggil dan ditawari untuk
bekerja diperusahaan tersebut dengan gaji pertama Rp 750.000,- Tujuh belas kali
lipat lebih tinggi dibanding uangnya yang telah hilang waktu itu.
Itulah rupanya jawaban Allah
atas kejadian yang menimpa seseorang, bila sabar menerimanya. Allah “meminjam”
1 bagian, dan kini dikembalikan menjadi tujuh belas kali lipat lebih.
Waktu berjalan terus tanpa
terasa, dan pada saat saya menulis ini, ia telah mencapai sukses gemilang dengan
penghasilan yang ribuan kali lipat dibanding uang yang hilang dulu.
Apakah ini merupakan puncak
keindahan dari peristiwa yang terjadi di hari “naas” itu, atau bahkan Allah
Yang Maha kuasa akan menunjukkan pada sesuatu yang lebih indah lagi….wallahu’alam.
Yang pasti, ukuran sukses yang
paling besar adalah hati yang damai, dan bahagia yang tercapai. Saya yakin
setiap orang pernah mengalami kejadian yang senada dengan kejadian diatas.
Hanya saja mungkin skala dan situasinya yang berbeda.
Marilah kita renungkan
perjalanan hidup kita masing-masing, pasti kita pernah mengalami suatu
kejadian, dimana kejadian tersebut kita sangka sesuatu yang menyusahkan,
merugikan, dan menyedihkan.
Tetapi hal itu akan berubah
menjadi sesuatu yang indah, apabila seseorang sabar menerimanya. Akhirnya
muncullah hikmah yang sangat besar yang tiada tersangka sebelumnya.
Sungguh, Allah Maha Perencana
dari segala macam kejadian dan peristiwa. Setiap peristiwa yang sudah terjadi,
bagi seorang muslim merupakan ketetapan Allah yang sangat indah. Karena
disitulah letak ukuran dan ujian kualitas taqwa seseorang…
***
Dari Sahabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar