Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
Alhamdulillaah…..Segala
Puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian alam.Tuhan Yang Maha Rahman.Maha Rahim..
Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk kekasih Allah,Muhammad
Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku tidak tahu dimana berada.
Meski sekian banyak manusia berada disekelilingku, namun aku tetap merasa
sendiri dan ketakutan. Aku masih bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini,
dan buat apa semua manusia dikumpulkan. Mungkinkah, ah aku tidak mau
mengira-ngira.
Rasa takutku makin
menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya mendekati
dan menjawab pertanyaan hatiku. “Inilah yang disebut Padang Mahsyar,” suaranya
begitu menggetarkan jiwaku. “Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku,” batinku. Aku
menggigil, tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari
seseorang yang kukenal.
Kusaksikan langit menghitam,
sesaat kemudian bersinar kemilauan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara
menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan, hari dimana semua manusia akan
menerima keputusan akan balasan dari amalnya selama hidup didunia. Hari ini
pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya, surgakah yang akan dinikmati
atau adzab neraka yang siap menanti.
Aku semakin takut. Namun ada
debar dalam dadaku mengingat amal-amal baikku didunia. Mungkinkah aku tergolong
orang-orang yang mendapat kasih-Nya atau jangan-jangan ………
Aku dan semua manusia lainnya
masih menunggu keputusan dari Yang menguasai hari pembalasan. Tak lama
kemudian, terdengar lagi suara menggema tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi
akan dibacakan daftar manusia-manusia yang akan menemani Rasulullah SAW di
surga yang indah. Lagi-lagi dadaku berdebar, ada keyakinan bahwa namaku
termasuk dalam daftar itu, mengingat banyaknya infaq yang aku sedekahkan.
Terlebih lagi, sewaktu didunia aku dikenal sebagai juru dakwah. “Kalaulah
banyak orang yang kudakwahi masuk surga, apalagi aku,” pikirku mantap.
Akhirnya, nama-nama itupun
mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa namaku ada dalam deretan penghuni
surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar
itu, nama Rasulullah Muhammad SAW sudah pasti tercantum pada urutan teratas,
sesuai janji Allah melalui Jibril, bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam
surga sebelum Muhammad masuk. Setelah itu tersebutlah para Assabiquunal
Awwaluun. Kulihat Fatimah Az Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia
sebagai wanita pertama yang ke surga, diikuti para istri-istri dan keluarga
rasul lainnya.
Para nabi dan rasul Allah
lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir dan Sumayyah berjalan tenang
dengan predikat Syahid dan syahidah pertama dalam Islam. Juga para sahabat
lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul itu dengan bangga melangkah
ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya. Yang aku tahu, salah satu
kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah melihat wajah Allah.
Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah bersyukur mendapatkan
nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang bersama Muhammad
menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin terdahulu dan para
syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.
Sementara itu, dadaku berdegub
keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu melihat rombongan anak-anak
yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati kesegaran telaga kautsar.
Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan tangannya kepadaku.
Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah, mereka anak-anak yatim sebelah rumahku
yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu menangis kelaparan
dimalam hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang tak habis kumakan.
“Subhanallah, itu si Parmin
tukang mie dekat kantorku,” aku terperangah melihatnya melenggang ke surga.
Parmin, pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah bercerita, bahwa sebagian
besar hasil dagangnya ia kririmkan untuk ibu dan biaya sekolah empat adiknya.
Parmin yang rajin sholat itu, rela berpuasa berhari-hari asal ibu dan
adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba, orang yang sejak tadi
disampingku berkata lagi, “Parmin yang tukang mie itu lebih baik dimata Allah.
Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain.” Sementara aku, semua hasil keringatku
semata untuk keperluanku.
Lalu berturut-turut lewat
didepan mataku, mbok Darmi penjual pecel yang kehadirannya selalu kutolak,
pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan selalu mendapatkan kata “maaf”
dari bibirku dibalik pagar tinggi rumahku. Orang disampingku berbicara lagi
seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan, “Mereka ihklas,
tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau tolak.”
Masya Allah murid-murid
pengajian yang aku bina, mereka mendahuluiku ke surga. Setelah itu,
berbondong-bondong jamaah masjid-masjid tempat biasa aku berceramah. “Mereka
belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau, terlalu banyak berbicara
dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang bisa dipelajari dengan
mendengar dari pada berbicara,” jelasnya lagi.
Aku semakin penasaran dan
terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring dengan itu antrian manusia-manusia
dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi sejauh ini, belum juga namaku
terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera bertemu Allah dan berkata, “Ya
Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah, aku bershodaqoh, banyak membantu
orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke surgaMu.”
Orang dengan wajah bersinar
disampingku itu hendak berbicara lagi, aku ingin menolaknya. Tetapi, tanganku
tak kuasa menahannya untuk berbicara. “Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata
untuk kepentinganmu mendapatkan surga Allah, shodaqohmu sebatas untuk
memperjelas status sosial, dibalik bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan
penghargaan, dan dakwah yang kau lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak
untukmu,” bergetar tubuhku mendengarnya.
Anak-anak yatim, Parmin, mbok
Darmi, pengemis tua, murid-murid pengajian, jamaah masjid dan banyak lagi
orang-orang yang sering kuanggap tidak lebih baik dariku, mereka lebih dulu ke
surga Allah. Padahal, aku sering beranggapan, surga adalah balasan yang pantas
untukku atas dakwah yang kulakukan, infaq yang kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan
perbuatan baik lainnya. Ternyata, aku tidak lebih tunduk dari pada mereka,
tidak lebih ikhlas dalam beramal dari pada mereka, tidak lebih bersih hati dari
pada mereka, sehingga aku tidak lebih dulu ke surga dari mereka.
Jam dinding berdentang tiga
kali. Aku tersentak bangun dan, astaghfirullah ternyata Allah telah
menasihatiku lewat mimpi malam ini. (bay)
Termasuk Manakah Kita?